Rabu, 20 Juni 2012

Sejarah Palembang

Arti Nama Palembang

Posted By Drs. Mutawa;;i, M.Pdi


Nama Palembang banyak mempunyai arti. Pengertian yang mendekati kenyataan adalah apa yang diterjemahkan oleh R.J.Wilkinson dalam kamusnya ‘A Malay English Dictionary’ (Singapore, 1903): lembang adalah tanah yang berlekuk, tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama di dalam air. Menurut Kamus Dewan (karya Dr. T.Iskandar, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), lembang berarti lembah, tanah lekuk, tanah yang rendah. Untuk arti lain dari lembang adalah tidak tersusun rapi, terserak-serak. Sedangkan menurut bahasa Melayu, lembang berarti air yang merembes atau rembesan air. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat.

Menurut I.J. van Sevenhoven (Lukisan tentang Ibukota Palembang, Bhratara, Jakarta, 1971, hlm. 12), Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, sedangkan Stuerler menerjemahkan Palembang sebagai tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan tanah yang berair. lni tidak jauh dari kenyataan yang ada, bahkan pada saat sekarang, yang dibuktikan oleh data statistik tahun 1990, bahwa masih terdapat 52,24% tanah yang tergenang di kota Palembang. Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-anak sungai yang mengalir di tengah kota.

Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:

* Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan
* Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah
* Daerah pesisir timur laut

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban.

Kapan Nama Palembang ‘Lahir’?

Kapan nama Palembang “lahir” tepatnya belum dapat diperkirakan. Apakah nama ini lahir sejak Sriwijaya runtuh atau sebaliknya nama Palembang lahir lebih dahulu sebelum nama Sriwijaya “lahir”. Dari sumber Cina, yaitu kronik Chu-fan-chi, karya Chau Ju-kua tahun 1225, disebutkan nama Pa-lin-fong (Palembang), adalah salah satu bawahan San-fo-tsi.

Wang Ta-yuan dalam catatan perjalanannya Tao-i chih-lio (1349-1350), membedakan antara San-fo-tsi dengan Ku-kang (Kiu-Kiang), yaitu dua buah nama dan tempat yang berbeda. Menurut Ma-huan dalam Ying-yai-Sheng-lan ditulis tahun 1416, menyatakan bahwa Ku-kang adalah negeri yang dahulunya disebut San-fo-tsi (San-bo-tsai).

Dari kronik-kronik Cina, sebagian mengatakan bahwa pengertian San-fo-tsi dapat berarti Palembang dan juga Jambi. J.L.Moens mempertegas bahwa yang disebut kerajaan San-fo-tsi bukan hanya satu kerajaan saja, dia menyarankan bahwa ahli sejarah harus membedakan “San-fo-tsi Palembang” dan “San-fo-tsi Melayu”. Sayangnya J.L. Moens tidak tuntas menyelesaikannya.

Banyak penulis sejarah berpendapat kekeliruan penulisan Cina karena San-fo-tsi (Suarnabhumi atau Pulau Emas) dengan hanya menyebutkan nama pulaunya saja, tidak mendetil dengan nama-nama kerajaan di bagian pulau tersebut.

Nama Palembang pada zaman klasik, selain dalam catatan kronik Cina, juga tertulis dalam Nagarakertagama karangan Prapanca pada tahun 1365. Di dalam Pupuh XIII disebutkan negara-negara bawahan Majapahit di daerah Melayu adalah; Jambi, Palembang, Dharmasraya, Toba dan seterusnya.

Setelah zaman Islam nama Palembang menjadi populer dengan dimuatnya di dalam Babad Tanah Jawi (1680) dan Sejarah Melayu (1612). Sejarah Melayu aslinya ditulis sekitar tahun 1511, ditulis kembali dari pelbagai versi, antaranya oleh Abdullah ibn Abdulkadir Munsyi yang menulis kembali teks tahun 1612. Teks yang menceritakan Palembang dari Sejarah Melayu:

Aneka Nama Palembang dalam Sejarah


Kota Palembang sekarang, sebelum nama “Palembang” tampaknya beberapa kali berubah nama sepanjang sejarahnya. Waktu ia menjadi ibukota San-Fo-Tsi (sebutan lain untuk Sriwijaya Lanjutan), maka kota Palembang masih bernama SwarnaBhumi yaitu sama dengan nama negaranya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yin-Yai-Sheng-Lan karya Ma-Huan yaitu San-Fo-Tsi (Swarna Bhumi) adalah nama ibukota kerajaan San-Fo-Tsi. Antara kata Swarnabhumi dan Palembang terdapat pengertian yang mengandung identitas yang sama yaitu emas.

Swarnabhumi berarti bumi emas, sedangkan Palembang menurut cerita rakyat berasal dari kata pelimbangan emas, yaitu tempat menyaring dan mencuci emas dari bumi (pasir). Dengan adanya pertautan pengertian antara Swarnabhumi dengan Palembang maka cerita rakyat tentang asal nama Palembang tampak ada juga benarnya. Dari hasil analisa ini maka Palembang sekarang sepanjang sejarahnya menurut data yang ada mengalami lima kali periode yang berbeda baik kedudukannya maupun namanya.

Pertama, ia bernama Mukha Upang, menurut prasasti Kedukan Bukit hal ini terjadi dalam periode Sriwijaya pemula (Shih-Li-Fo-Shih) ditahun 605 saka atau 683 M. Pada saat itu kedudukannya adalah sebagai negara lokal yang berada di bawah Sriwijaya pemula yang berpusat di Minanga – Komering Ulu.

Kedua, ia bernama Swarnabhumi menjadi ibukota San-Fo-Tsi I (Swarnabhumi = Sriwijaya Lanjutan I). Kedudukan ini dipegangnya mulai tahun 860 M sampai tahun ± 1097 M, dengan penguasa berwangsa Sailendra. Masa-masa ini merupakan masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.

Ketiga, ia bernama Po-Lin-Fong sesudah ia menjadi salah satu negeri bawahan San-Fo-Tsi atau dengan kata lain sesudah San-Fo-Tsi pindah ibukota.

Keempat, ia bernama Palembang, dan juga sebagai nama kerajaan seperti yang disampaikan oleh berita Cina dinasti Ming, sesudah pecahnya San-Fo-Tsi menjadi 3 bagian. Di tahun 1374 telah datang utusan Mahana Palembang (Ma-na-ha Pau-lin-pang) ke Tionghoa, sebagai salah satu kerajaan pecahan dari San-Fo-Tsi.

Kelima, ia bernama Chiu-Chiang (Ku-Kang) atau pelabuhan lama seperi yang dicatat dalam kroniknya Dinasti Ming sesudah ia ditundukkan oleh Jawa (1377). Pada masa ini Palembang banyak dihuni oleh kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou. Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut.

Bentuk dan Susunan Kota Palembang


Pada abad ke-12 dan 13 kota Palembang digambarkan oleh catatan Cina (Chau Ju-kua, hlm 60):
Penduduknya tinggal terpencar di luar kota, atau mereka tinggal di rakit di atas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak.

Selanjutnya menurut Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu (Ma Huan Ying-yai Sheng-lan, hlm 99):
Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanah kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal di rumah-rumah yang dibuat di atas tanah yang kering di pinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah pernimpin, mereka semua tinggal di atas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang di tepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ke tempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Di dekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari dan semalam.

Gambaran hidup di atas sungai di dalam abad ke-19 digambarkan juga oleh Alfred Wallace Russel (The Malay Archipelago, Dover Publ, New York 1962 hlm 94):
Penduduknya adalah orang Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah di atas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah di atas air, dan tak akan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih dapat dicapai dengan perahu.

Berapa luas kota Palembang tersebut dapat dilihat catatan pelaut Arab Abu Zaid Hasan (Voyage du marchand arabe Sulayman en Inde et en Chine, redige en 851, suivi de remarques par Abu Zayd Hasan (vers 916)) di abad ke-10, mencatat beberapa gosip para pedagang bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam di waktu subuh dan terus menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang (satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus.”

Apa yang dicatat oleh pelaut Arab tersebut, tidak jauh dari anekdot yang dicatat oleh pelapor Belanda, L.C.Westenenk; bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena melompat dari satu atap ke atap rumah-rumah penduduk.

Dapat pula dibayangkan besarnya kota Palembang pada awal Sriwijaya dari ukuran jarak kedudukan Prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang berada di tengah-tengah, sedangkan di ujung timurnya terdapat Prasasti Telaga Batu (kampung 2 ilir, di belakang PUSRI). Di ujung baratnya terdapat prasasti Talang Tuo (masuk kecamatan Talang Kelapa); yaitu prasasti pendirian taman oleh Sri Jayanasa.

Catatan Perkembangan Kota Palembang


Runtuhnya Sriwijaya di sekitar abad ke-12 dan 13, seolah-olah tidak ada kesinambungan Sejarah dengan “kelahiran” Palembang. Palembang memulai lembaran catatannya dengan Sejarah Melayu, yaitu saat Sang Sapurba, yang berpuyang dengan Iskandar Zulkarnain, turun di atas Bukit Seguntang Mahameru. Tokoh setengah dewa ini membuat “kontrak” atau “perjanjian awal” dengan penguasa Demang Lebar Daun, untuk menjadi penguasa dan menurunkan kekuasaan kepada raja-raja Melayu, yang mempunyai garis keturunannya. Kekuasaan ini berkembang di Malaka, yang pada gilirannya menurunkan raja-raja Melayu baik di Semenanjung Malaka, Sumatera dan kepulauan Riau.

Lembaran kedua catatan Palembang datang dari babad/sejarah Jawa, termasuk Banten dan Cirebon. Babad yang paling mempengaruhi lembaran catatan Palembang adalah Babad Tanah Jawi. Lembaran ini mengetengahkan Aria Damar dan Raden Fatah. Kedua tokoh legendaris ini mengikat masa lampau Palembang dengan masa madyanya, antara Majapahit, Demak dan Palembang. Dari kedua tokoh ini kharisma Majapahit diturunkan melalui Demak kepada penguasa Palembang, dalam bentuk garis-garis silsilah penguasanya. Memantapkan silsilahnya, maka tokoh orang-orang suci seperti Walisongo dan para Nabi menjadi garis ke atas dari silsilah penguasa Palembang. Oleh karena itu tidaklah heran garis-garis keturunan Palembang kaya sekali dengan pelbagai akar silsilah, di mana dapat kita baca pada saat perjalanan sejarah elit Melayu-Jawa memerintah di Palembang sejak paruh kedua abad ke-16.

Sebaliknya lembaran catatan daerah setempat, yaitu khususnya di daerah pedalaman Palembang, terdapat perkawinan antara yang berpuyang dengan Iskandar Zulkarnain, lewat Bukit Seguntang, dengan Majapahit, melalui Aria Damar. Muncul tokoh-tokoh yang namanya berbaur dan berciri Melayu-Jawa, di dalam akar silsilah mereka. Silsilah ini tertulis pada lontar, bambu atau secara tutur. Pengaruh budaya Melayu dan Jawa sampai sekarang pun masih bisa dibuktikan. Sebagai contohnya adalah bahasa, seperti pemakain kata “lawang (pintu)”, “gedang (pisang)”, “jabo (luar)” dan masih banyak lagi. Gelar kebangsawanan pun bercorak demikian, seperti pemakaian gelar Raden Mas atau Raden Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam dan beberapa Masjid pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam dan arsitek Masjid di Jawa

Tahapan Sejarah Perkembangan Kota Palembang




Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1324 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 683. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:

• Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan
• Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah
• Daerah pesisir timur laut

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara.

Menurut Sevenhoven, Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, sedangkan Stuerler menerjemahkannya sebagai tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan tanah yang berair.

Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-anak sungai yang mengalir di tengah kota.

Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut: Negara ini terletak di Laut Selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengar. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama). Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.

Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya. Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.

Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari Majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka. Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung di tengah pasar ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina, sebetulnya kedudukan ini adalah suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum, imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200 tahun.

Masa Kesultanan Palembang

Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina di Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang. Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palembang, memutus hubungan ideologi dan kultural dengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahman, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan). Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu – Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada di tangan Sultan yang berkuasa).

Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan dan terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan dengan segala peralatannya. Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.

Masa Belanda

Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam pada saat di bawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, di zaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa – Kawi yang berarti barang katanya, diturut, diindahkan. Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana paramiji dan alingan (struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang dialingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan. Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu kepandean adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan. Pemukiman ini dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung.

Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayah-wilayah dimana kelompok tertentu bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali. Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tunduk pada administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 ulu. Pemberian nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah kampung, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu.

Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukanlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung. Oleh karena Kepala Kampung hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya. Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh penduduk kota. Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa perdagangan dan menjadi markas para pengusaha.

Di Era Zaman Jepang

Di zaman penduduk Jepang (1942-1945), secara struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku – Co dan mereka dibawah koordinasi Gun – Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan di kalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari – Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari – gumi dipimpin oleh seorang Ku – Mi – Co (Ketua RT).