Rabu, 20 Juni 2012

Atisa, Dharmakirti, Swarnadwipa

Atisa, Dharmakirti, Swarnadwipa

Posted By Drs. Mutawalli, M.Pdi

atisha_973.jpg : Preaching in Sumatra

Atisa, Dharmakirti, Swarnadwipa, dan Kawasan Percandian Muarajambi (Bagian I)

Atisa

Atisa (982-1054 M) dilahirkan pada keluarga kerajaan di kota Zahor dengan nama Chandragarbha, adalah anak ke dua dari raja yang berkuasa di India bagian timur yang sekarang adalah Bengal. Ayah beliau adalah Raja Kalyanasri dan Ibu beliau adalah Sri Prabhawati. Saudara tua Atisa adalah Padmagarbha dan yang terkecil adalah Srigarbha. Kerajaan tersebut bernama Vikramapura. Pada catatan akhir dari Prajna-paramita-pindartha-pradipa, Tan-gyur edisi Peking, tertulis : Teks ini mengandung dokterin dari Buddha, biksu kelahiran Bengal menulis berdasarkan sastra-sastra dan guru-vacana. Juga pada Bodhi-marga-pradipa-panjika-nama tertulis :"...Dipankara Sri jnana, a descendant of the Bengalae King... representatif dari Buddha masa kini, Dipankara Sri Jnana yang lahir di Bengal", dan beberapa karya dari beliau mencatat hal yang sama. Pada catatan dari Tibet juga menginformasikan pada kita bahwa tempat kelahiran Atisa adalah Bengal, negeri bagian dari India.

Dharmakirti

Swarnadwipa Dharmakirti atau Serlingpa (Wylie:Gser-gling-pa), terjemahan Tibet dari kata pa secara harfiah menunjuk pada orang, Jadi ger-gling-pa berarti orang yang berasal dari Serling/ Swarnadwipa. Dalam Riwayat Guru-Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pergi ke Jambudwipa (India) belajar di bawah Sri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini. Sedangkan Swarnadwipa asal katanya dari kata swarna (sansekerta) berarti emas dan dwipa berarti pulau. Swarnadwipa berarti pulau emas, yang ditafsirkan pulau yang terdapat banyak emas, atau pulau yang tanahnya kuning mirip emas dan yang mengkaitkan karena pulau ini kaya akan rempah-rempah dan hasil alam sehingga namanya tersohor dan kemilau bagaikan emas yang banyak mengundang orang untuk datang. Swarnadwipa yang kemudian hari dikenal dengan Sumatera. Sebuah pulau yang terletak di jalur pelayaran antara China dan India.

Sebuah catatan yang cukup jelas di Tan-gyur pada bagian Abhidsamaya-alamkara-nama-prajnaparamitra-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika edisi Peking, pada bagian catatan akhir menerangkan bahwa : ditulis oleh Dharmakirti atas permohonan raja Sri-Cudamaniwarman, pada tahun ke 10 masa pemerintahan raja Cudamaniwarnan di Vikjayanagara dari Swarnadwipa. Dan pada bagian katalog, Cordier menuliskan pengarang dari teks tersebut adalah : acarya Dharmakirti dari Swarnadwipa dan ia menambahkan : karya tersebut ditulis pada jaman kekuasaan Dewa-Sri-warman-raja, Cudamani alias Cudamanimanpada, di Malayagiri wilayah Wijayanagara dari Swarnadwipa. Kita dapat menafsirkan bahwa Wijayanagara adalalah ibukota dari kerajaan Swarnadwipa. Dengan demikian Swarnadwipa dipastikan adalah pulau Sumatera yang berada di Indonesia.

Pada catatan dari Cina diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 Raja Sri Culamaniwarman mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti. Dan pada tahun 1008 datang lagi utusan dari raja yang sama ke Cina. Dengan demikian dapat kita perkirakan Dharmakirti menulis risalah Prajnaparamita Sutra tersebut berkisar permulaan abad XI. Dapat pula bahwa Atisa datang ke Swarnadwipa pada masa pemerintahan raja Cudamaniwarman. Dan Raja Mara W ijayottunggawarman, anak raja Cundawarman ini mendirikan vihara di India Selatan atas nama ayahnya.

Pada risalah Lamrim menjelaskan bagaimana Atisa ketika tiba di Sumatera. Dikatakan bahwa Atisa setibanya di Sumatera bersama dengan seorang murid yang bernama Ksitigarbha, tidak langsung bertemu dengan guru Dharmakirti, tetapi ia tinggal bersama di daerah murid guru Dharmakirti berdiam untuk memperoleh informasi tentang sang guru tersebut dari para muridnya. Setelah mengetahui kedatangan Atisa, sang calon guru mengumpulkan para biksu tempat Dharmakirti tinggal dan menuju tempat Atisa tinggal guna menyambut kedatangan seorang guru besar dari India. Pada bagian Lamrim yang lain lebih jelas menerangkan bahwa rombongan Guru Dharmakirti sebanyak 597 orang, diantaranya 535 adalah bhiksu, mengenakan pakaian kebiksuan lengkap, membawa mangkok biksu dan tongkat khakkhara.

Beberapa karya dari Dharmakirti antara lain yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur: Siksa-samuccaya-abhisamaya-namah. Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Sri Dharmapala dari Swarnadwipa. Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipankara menyebutkan nama seorang guru Mahayana Dharmapala, raja dari Swarnadwipa.

Atisa: Pengajaran di Sumatra

Suatu hari, ketika Atisa sedang memikirkan untuk melatih tantra nya dengan semua kekuatan yang dapat dikerahkannya hingga mampu mencapai kemampuan maksimal, beliau ditanntang oleh sebuah suara. The Black Mountain Yogi muncul dalam mimpi dan menasehatinya agar terus berlatih dengan gigih agar hingga mencapai pencerahan yang diimpikannya. Mengerahkan seluruh kekuatan secara bersamaan dalam waktu yang sama bukanlah cara yang bener, The Black Mountain Yogi mengingatkan, namun ia harus berusaha sekeras mungkin untuk menjadi “pencari rohani yang telah meninggalkan kehidupan keluarga”, menjadi seorang bhiksu. Oleh karenanya, diusianya yang ke 29, Atisa secara resmi dinobatkan sebagai seorang bhiksu di bawah ordonansi Shilarakshita Agung dan diberi nama baru Dipamkara Srijana, yang berarti “ Ia yang Memiliki Kesadaran yang Mendalam yang Bertindak sebagai Penerang.”

Bahkan setelah menjadi seorang Bhiksu, Dipamkara Srijnana merindukan cara yang tercepat dan langsung untuk mencapai penerangan yang sempurna. Beliau melakukan ziarah ke Bodhgaya dan keika ia berjalan mengelilingi stupa yang ada disana, ia mendapatkan penglihatan yang terdiri dari dua perwujudan dari Tara. Yang satu bertanya kepada yang lain, apa cara berlatih yang paling penting agar dapan mencapai penerangan, dan yang ditanya menjawab dengan sepantasnya bahwa “latihan Bodhicitta, didukung oleh rasa cinta kasih dan kasih sayang yang besar adalah hal yang terpenting.” Sejak saat itu, Atisa mendedikasikan seluruh kemampuan untuk mendefinisi ulang pengertian dan latihan Bodhicitta nya. Pada usia tiga puluh satu, beliau merencanakan satu perjalanan tenuh tantangan, perjalanan selama tiga belas bulan ke Sumatera guna menuntut ilmu kepada Suvarnadvipi Dharmakirti yang termasyur, atau yang biasa disebut Dharmarakshita dan dikenal di Tibet sebagai Serlingpa (Wylie:Gser-gling-pa), sebagai master dari Bodhicitta.

Di bawah bimbingan Dharmarakshitta, Atisa tinggal di Pulau Sumatera selama dua belas tahun mempelajari Bodhicitta dan teknik pelatihan pikiran secara khusus sebagai bagian dari originasi lisan. Akhirnya, setelah berlatih intensif selama sepuluh tahun, Dharmarakshita menasihati Atisa untuk “pergi ke Utara. In Utara terdapat Tanah Bersalju.” Maksud Dharmarakshita adalah Tibet, sebuah wilayah dimana tradisi agama Buddha berubah selamanya setelah kehadiran Atisa Dipamkara Srijnana. Dari Sang Guru, Dharmarakshita, Atisa mendapatkan satu cara meditasi, yang akhirnya menjadi teknik meditasi mendasar bagi orang Tibet, yang disebut sebagai Meditasi Tongleng. Sebuah meditasi yang berjuan mendaur ulang energi negatif yang ada dan mengubahnya menjadi energi yang penuh cinta kasih dan menyembuhkan.

Apa yang membuat Atisa, seorang biksu yang sangat terpelajar bersusah payah datang ke Sumatera untuk bertemu dengan Dharamkirti? Adalah mengenai Dharma apa yang seharusnya dilatih oleh seseorang agar dapat mencapai pencerahan dengan cepat, dan kesimpulan yang dicapai adalah sama-beliau harus melatih diri dalam batin pencerahan. Salah satu dewi tersebut juga menggambarkan kepada rekannya sebuah metode efektif untuk melatih diri sendiri dalam batin ini. Atisa menghentikan pradaksinanya dan mendengarkan dengan seksama, menerima apa yang mereka katakan bagaikan cairan yang dituangkan dari satu bejana ke bejana lainnya.

Pada catatan dari Tibet menjelaskan: ketika Atisa duduk dekat tembok batu yang dibangun oleh Nagarjuna, beliau melihat dua wanita tidak jauh dari sana, satunya muda dan yang satunya lagi tua. Yang tua mengatakan kepada yang muda bahwa siapapun yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat seharusnya melatih diri mereka dalam batin pencerahan. Lalu pada waktu lain, ketika melakukan pradaksina Maha Bodhi Vihara beliau mendengar kata-kata ini diucapkan dari gambar seorang Tathagata di bawah sebuah beranda: "O Bhadanta, seseorang yang berharap untuk mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya sendiri dalam kebaikan hati, cinta kasih, dan batin pencerahan." Dan ketika melakukan pradaksina pada sebuah bangunan kecil dekat tembok batu tersebut, tidak jauh dari sana beliau mendengar gambar Buddha Sakyamuni berwarna gading berkata, "Yogi, seseorang yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya dalam batin pencerahan."

Dari catatan yang kita peroleh menjelaskan bahwa hanya di Swarnadwipa-lah, oleh Dharmakirti yang telah memperoleh pelajaran inti untuk penerangan (bodhicitta), yang secara unik yakni menggabungkan dua metode yang ada menjadi satu dalam melatih kemajuan batin untuk mengembangkan bodhicitta. Pada Riwayat Guru-Guru Lamrim mengatakan : "Lebih dari itu Beliau juga menerima secara khusus silsilah dua pionir Maha Guru Mahayana: Silsilah Praktek Kebijaksanaan Mendalam oleh Maha Guru Nagarjuna dan Silsilah Praktek Metode Luas oleh Arya Asangha. Tambahan lagi Ajaran tentang Tiga jenis makhluk sesuai tahapan Jalan Menuju Pencerahan Agung yang mana kesemuanya ditransmisikan hingga masuk ke dalam hati sanubarinya dengan tanpa ada yang terlewatkan. Beliau menerapkan gabungan instruksi Abhisamayalamkara dan Prajnaparamita Sutra yang menyebabkan beliau menjadi yang terbaik dari para cendekiawan. Yang juga istimewa adalah kekuatan tekad serta keyakinan akan kebenaran bahwa dengan membangkitkan batin maha mulia Bodhicitta bagai gelombang samudra yang dahsyat maka Beliau mampu memberikan kasih sayang yang besar dan bekerja demi kepentingan segenap makhluk lain sebagaimana instruksi silsilah mendalam yang ditransmisikan dari bodhisattva Manjushri hingga Bodhisattva Shantidewa." Lebih lanjut dalam teks menjelaskan keagungan dari Dharmakirti : "Beliau yang memiliki bodhicitta nan penuh cinta kasih dan welas asih yang mendalam dan luas kepada segenap makhluk juga memperoleh gelar Sang Metripa yang dicabut dari akar nama Bodhisattva Maitreya. Sejak itulah beliau terkenal sebagai Lama Serlingpa Metripa (Sang Pengasih dan Penyayang dari Pulau Emas)."

Setelah kembali dari Sumatera ke India, Raja India Mahapala meminta beliau menjadi kepala biara Vikramasila dan menduduki posisi Pendeta Tinggi. Setelah beberapa tahun kemudian, Atisa diundang ke Tibet untuk menghidupkan kembali Buddhis di tanah bersalju setelah terjadi kemerosotan oleh Raja Langdharma dari tahun 838-842 M. Beliau berangkat dari biara Vikramasila, yang menjadi kepala biara waktu itu adalah Ratnakara. Atisa memberikan sumbangan yang sangat besar pada perkembangan Buddhis di masanya dan masa sekarang, terutama pada kebangkitan kembali Buddhis di Tibet. Setelah kembali dari Sumatera, beliau menyusun Bodhi-patha-pradipa (Lampu Penerangan Sang Jalan), yang menjadi teks dasar oleh Tsong Khapa (1357-1419) menyusun Jalan Bertahap Menuju Pencerahan (Lamrim) selesai pada tahun 1402 yang memberi pengaruh yang luar biasa pada para biarawan, pendeta, maupun para cendikiawan yang mempelajari filosofis Buddhis.